Dalam
buku sosiologi suatu pengantar di jelaskan bahwa proses sosialisasi primer itu
dari keluarga[1]. Kita ketahui bahwa seseorang lahir langsung berinteraksi dengan keluarga, baik
ibu, bapak, dan keluarga yang lain. Misalnya seorang anak diadzani oleh ayahnya
ketika baru lahir, atau dalam tradisi Katholik anak yang baru lahir di bacakan
doa untuk keselamatannya, begitu juga dengan agama yang lain beserta
ritual-ritualnya.
Interaksi
ini memang di perlukan untuk anak untuk menunjukan identitas sosialnya kelak[2].
Kumpulan
seseorang bisa disebut keluarga jika minimal terdapat ayah atau ibu, kalau
dalam beberapa kasus di Nusantara terdapat keluarga kecil dan keluarga besar.
Keluarga kecil terdiri dari Ayah, Ibu, Anak, Nenek, Kakek. Sedangkan keluarga
terdapat tambahan paman, bibi, sepupu, dan seterusnya. Keluarga inilah yang
nantinya akan membentuk karakter dasar dari anak tersebut. Interaksi yang
dialami anak akan terbawa sampai ia nantinya berkiprah secara aktive di
masyarakat.
Bentuk
keluarga di pulau Kalmimantan misalnya, terdiri dari beberapa kepala keluarga
yang bertempat tinggal di dalam sebuah rumah panggung yang besar. Biasanya
terdiri dari lebih dari sepuluh kepala keluarga yang menempati rumah panggung
tersebut. Dalam keluarga itu sudah terdapat pembagian kerja yang jelas, baik
tugas yang berkebun dan berburu atau tugas perempuan untuk memasak. Hal ini sudah
menjadi pola tata kehidupan di sebagian wilayah Nusantara.
Terdapat
fungsi-fungsi keluarga diantaranya adalah afeksi, proteksi, edukasi, dan fungsi
lainnya. Fungsi afeksi di butuhkan oleh seorang anggota keluarga untuk
mendapatkankasih sayang, misalnya seorang anak akan meminta perhatian orang
tuanya dalam beberapa hal, seorang istri ingin di cintai secara penuh oleh
suaminya, dan lain-lain.
Fungsi
proteksi adalah fungsi untuk mendapatkan rasa aman di dalam keluarga tersebut.
Setiap anggota keluarga ingin mendapatkan rasa aman jika berada didalam
lingkungan keluarga tersebut. Rasa aman itu timbul karena ada anggota keluarga
yang lain untuk melindunginya. Misalnya seorang anak merasa aman dari ancaman
di luar lingkungan rumahnya jika berada di keluarganya.
Fungsi
edukasi adalah bagian dari pendidikan dalam sebuah keluarga. Kita sepakati
bahwa pendidikan pertama yang dialami oleh anak adalah keluarga. Karena dalam
keluarga mewariskan nilai-nilai yang akan disampaikan kepada anak. Tanpa sebuah
edukasi anak-anak tidak dapat membedakan norma yang dianggap baik atau buruk
oleh komonitasnya. Sehingga proses tranfer nilai-nilai tersebut melalui edukasi
keluarga. dan terkadang keluarga tidak hanya mewariskan nilai-nilai terhadap
anaknya tetapi juga mewariskan ilmu pengetahuan.
Dalam sebuah perjalanannya terkadang
fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan terdapat
masalah masalah yang ada di dalam keluarga tersebu, misalnya kekerasan dalam
rumahtangga (KDRT). Dewasa ini terdapat banyak kasus kekerasan dalam rumah
tangga yang terjadi di Indonesia, data statistik di jakarta pada tahun 2011menunjukan
bahwa terdapat 209 orang perempuan dan anak-anak yang mengadukan mendapatkan
kekerasan.sedangkan pada tahun 2010 terdapat 287 orang [3].
Hal ini menunjukan bahwa banyak sekali kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga terutama terhadap perempuan dan anak.
Seharusnya
keluarga mempunyai fungsi afeksi, proteksi, ekonomi, dan lain-lain tetapi pada
kenyataannya terdapat juga orang mengalami kekerasan. Kasus yang terhangat
akhir-akhir ini menimpa seorang anak kecil mungil dan lucu yang bernama Angeline.
Pembunuhan itu di duga ibu angkat korban yaitu Margriet ikut andil dalam
pembunuhan tersebut.[4] Kasus
banyak menuai simpati dari kalangan masyarakat Indonesia agar tidak terjadi
lagi. Bagaimana mungkin anak kecil yang masih belum berdosa secara kejam di
bunuh. Mereka juga mempunyai hak untuk hidup, dan disini fungsi keluarga tidak
berfungsi secara optimal.
Kebanyakan
kekerasan yang terjadi adalah menimpa perempuan dan anak-anak. Karena terdapat
kelamin sosial (bias gender) yang di ciptakan oleh budaya yang ada. Dalam
pandangan Feminisme duni I[5]
kesamaan antara laki-laki itu harus sama dalam semua aspek, bahkan dalam
menentukan sexs, dan ektremnya lagi mereka ingin berada di atas kaum laki-laki.
Berbeda halnya dengan gerakan feminisme di dunia III[6]
mereka ingin kesamaan dalam hal akses publik dan kesepakatan dalam rumah
tangga. Seperti perempuan berhak untuk bekerja, menjadi pemimpim, menempati
jabatan strategis dalam negara, dan lain-lain.
Pada
hakikatnya masyarakat mengalami sebuah dinamisasi. Dan merupakan hal yang
lumrah jika pada setiap keluarga dan masyarakat mengalami sebuah masalah,
karena dalam proses dinamisasi terkadang ada sebuah nilai yang masih sulit
untuk diadopsi oleh keluarga atau masyarakat tersebut sehingga menyebabkan
pertentangan-pertentangan dalam anggota masyarakat tersebut.. Tetapi sikap kita
sebagai kaum intelektual harus bisa bersikap inklusif dan bisa memfilter
terhadap nilai-nilai baru, serta mampu mempertahankan nilai-nilai lama yang
baik.
Oleh: Muhammad Ilyas
Makalah ini di sampaikan pada diskusi bansospol Kamis
18 Juni 2015 di taman Ganesha Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY)
[1] Soerjono soekanto. 1982. Sosiologi
Keluarga. Jakarta: Rajawali Press
[2] Brayan S turner. 2011. Teori
Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[3] Sumber ini dari perempuan.or.id diakses pada tanggal 18 juni 2015
pukul 04.00 WIB
[4] Merdeka.com. diakses pada tanggal 18 juni 2015 pada pukul 04.55 WIB
[5] Meliputi negara-negara maju seperti USA, Inggris, Prancis, dan
lain-lain
[6] Meliputi negara berkembang, seperti Indonesia, India, Vietnam, dan
lain-lain